#navbar-iframe{opacity:0.0;filter:alpha(Opacity=0)} #navbar-iframe:hover{opacity:1.0;filter:alpha(Opacity=100, FinishedOpacity=100)}

Jumat, 30 Maret 2012

[Foto] Lupakan Mangsa, Ular Tolong Katak

Jauh dari kenyataan yang biasa ditemui apabila seekor ular biasanya melahap seekor katak sebagai mangsanya, kisah dalam rekaman foto ini justru menyuguhkan persahabatan dari kedua hewan di tengah bencana banjir yang melanda Australia. Keduanya mencoba mengenyampingkan perbedaan yang menganga di antara kedua hewan pada masa silam saat katak hijau mendapatkan tumpangan di atas punggung seekor ular berwarna coklat yang melintasi genangan air akibat banjir di Queensland, dekat Brisbane.
Teknisi komputer Armin Gerlach berhasil mengabadikan momen ini saat tengah merekam sejumlah gambar kerusakan materi yang merupakan dampak bencana banjir di Brisbane.
"Biasanya sejumlah hewan tampak berkerumun saat terjadi kebakaran hutan, banjir atau bencana alam lainnya. Namun, peristiwa yang terekam kali ini sungguh mengagumkan. Saya sampai tak yakin apabila ini benar-benar terjadi," tutur Armin Gerlach.
Bencana banjir di Queensland telah menelan 26 korban jiwa sejauh ini dan mengakibatkan kerusakan materi hingga 5 miliar dollar Australia.(kompas)

Cara Membuat Read More

Apa itu read more? Dan apa kegunaannya? Kalau secara bahasa sih artinya baca selebihnya atau selanjutnya, akan tetapi kalau sudah berkaitan dengan dunia blogging maka "Read More" itu adalah suatu fitur yang biasa digunakan untuk menyingkat postingan. Agar lebih singkat, dengan adanya fitur read more ini postingan kita tidak akan tampil dalam bentuk yang sebenarnya, akan tetapi hanya sebagiannya saja. Dengan pendahuluan ini, pengertian dan kegunaan read more telah terjawab. Bagaimana? Masih bingungkah? Kalau belum ada bayangan mengenai Read More, bisa tuh nengok blog ini, teman-teman bisa pergi ke halaman depan blog ini, dan di bagian bawah posting ada tulisan "Baca Selengkapnya>>" nah, itulah yang dinamakan "read more".

Sebelumnya, untuk membuat "read more" ini kita harus mengedit beberapa kode CSS. Namun, karena sekarang pihak blogger sudah menyediakan fitur ini langsung untuk postingan kita, jadinya kita tidak perlu mengotak-ngatik kode CSS.

Lalu bagaimanakah caranya? Caranya yaitu cukup dengan mengetik kode berikut ini di bagian postingan yang ingin anda potong secara manual:

<!-- more -->

Maka, kode di atas akan terlihat jelas tatkala anda menulis postingan anda dalam mode Edit HTML, bukan mode Tulis, tampilannya seperti berikut ini:


Dan tampilan di postingan blog anda nantinya akan seperti di bawah ini:


Bagi anda yang menggunakan template klasik atau templet yang telah disediakan oleh blogger sejak awal, maka tahap-tahap di atas sudah cukup. Yaitu anda tinggal menulis kode yang berwarna hijau itu secara manual dalam keadaan Edit HTML. Akan tetapi masalahnya bagi yang menggunakan templet download-an atau templet gratis yang telah disediakan oleh pihak selain blogger, maka trik di atas akan tetap bekerja dengan baik. Namun tulisan Baca selengkapnya>> itu lho, nanti gak kelihatan. Wah jadinya repotkan kalau begitu. Oleh karena itu bagi teman-teman yang menggunakan templet download-an, perlu satu tahap lagi agar trik di atas bisa berjalan dengan lancar, yaitu dengan menambahkan beberapa kode di CSS templet.

Langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Login ke akun blogger-nya anda.

2. Ketika di halaman Dasbor, silahkan untuk mengklik Tata Letak.

3. Sesampai di halaman Tata Letak, silahkan untuk mengklik Edit HTML.

4. Jangan lupa untuk mencentang kotak kecil yang berada di samping tulisan Expand Template Widget.<!-- more -->



5. Dan selanjutnya, silahkan untuk mencari kode berikut ini: (saran: Gunakan tombol Ctrl+F)

<div class='post-body entry-content'>
<data:post.body/>
<div style='clear: both;'/> <!-- clear for photos floats -->
</div>


6. Kemudian kopi kode di bawah ini, dan diletakkan persis di bawah kode tadi (no.5):

<b:if cond='data:post.hasJumpLink'>
<div class='jump-link'>
<a expr:href='data:post.url + &quot;#more&quot;'><data:post.jumpText/></a>
</div>
</b:if>


7. Klik tombol Simpan Template.

8. Selesai...


Dengan cara di atas, maka tulisan "Read More" atau Baca selengkapnya>> akan terlihat di postingan blog anda.

Oh iya, tulisan "Read More" atau Baca Selengkapnya>> tersebut bisa anda ubah sesuai dengan selera anda, contohnya saja: Lanjutannya..., ...Selengkapnya, Lanjuuut....., dll. Maka caranya adalah sebagai berikut:

1. Pergi ke halaman Tata Letak.

2. Sesampai di halaman Tata Letak, perhatikanlah elemen "Posting Blog", lalu klik-lah tulisan Edit.


3. Selanjutnya akan tampil halaman window kecil baru, seperti di bawah ini:

4. Nah, teman-teman bisa mensetting tampilan tulisan read more-nya (bisa diganti dengan: baca selanjutnya..., ....selengkapnya,dll) di bagian yang telah ditandai dengan elips merah di atas.

5. Jangan lupa untuk mengklik tombol Simpan.

6. Selesai...


Nb: Tips tambahan.

Agar teman-teman tidak capek menulis kode <!-- more --> setiap kali ingin memosting sesuatu, maka ada tipsnya. Silahkan simak tips berikut ini:

1. Pergi ke halaman Pengaturan.


2. klik Format.


3. Di halaman Format, carilah bagian Templat Entri. Dan sekarang, tulislah kode tadi (<!-- more -->) ke dalam kolom Templat Entri tersebut.



4. Jangan lupa klik tombol Simpan Setelan.


5. Maka setiap kali anda ingin memosting sesuatu, anda tidak perlu menulis kode: <!-- more --> karena akan secara otomatis muncul di halaman pemostingan. Untuk melihatnya anda harus dalam keadaan/ mode Edit HTML.



6
. Selesai...




Semoga Bermanfaat []

Rabu, 14 Maret 2012

Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Menghafal Al Quran merupakan bagian dari tradisi masyarakat muslim di Cape Town, Afrika Selatan. Salah satu rumah Rumah Tahfidz atau tempat menghafal Al Quran, ada di kampung Macassar, dekat makam penyebar Islam pertama asal Indonesia, Syekh Yusuf.
Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Rumah Tahfidz atau tempat menghafal Al Quran tersebut merupakan bagian dari kegiatan Program Pembibitan Penghafal Al Quran (PPPA) Daarul Quran Indonesia perwakilan Afrika Selatan.

Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Di sini, ada sekitar 30 anak yang rutin mengikuti kegiatan penghafalan Al Quran.

Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Para peserta umumnya berasal dari keluarga yang berada di sekitar Macassar.

Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Kegiatan menghafal Al Quran di tempat ini berlangsung pada sore hari, setelah kegiatan sekolah umum berakhir. Sebagian dari peserta sudah mampu menghafal beberapa juz, namun ada juga yang baru memulai.
Rumah Tahfidz Quran di Macassar Afsel

Rumah Tahfidz di Macassar ini merupakan salah satu dari dua rumah Tahfidz Daarul Quran yang ada di Afsel.


Sabtu, 10 Maret 2012

orang berdedikasi tinggi wajib ngerti jawaban ini?


Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?

"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita รข€“ cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".


Israel - Surga Gay dan Lesbian Arab...namnya juga kaum sodom zionis

Hak-hak Lesbian dan gay di Israel dianggap yang paling maju dan berkembang di Timur Tengah. Berbeda dengan negara timur tengah lainnya, Israel sangat melindung kaum minoritas ini.

Para gay dan lesbian dari Iran, Saudi Arabia, Kuwait, Irak, dan negara sekitar, datang untuk berlibur di Israel. Jika di negara asal mereka, mereka harus berpasangan dengan sembunyi-sembunyi, di Israel, para gay dan lesbian dapat memegang tangan pasangan mereka tanpa rasa takut. Mereka dapat berpelukan dan mencium pasangan mereka tanpa rasa khawatir.

Israel memang Oasis bagi gay dan lesbian di timur tengah. Walaupun akhir-akhir ini Lebanon dan Turki ikut-ikutan bersaing untuk mendapatkan turis gay dan lesbian dari timur tengah.

Salah satu gebrakan terbaru adalah pasangan gay dan lesbian dapat mengadopsi anak dan melakukan inseminasi buatan. Israel juga mengenal pernikahan sesama jenis.

Para pasangan gay dan lesbian di Israel senang menghabiskan waktu di taman dan pantai.

61 persen penduduk Israel mendukung pernikahan sesama jenis.

Di Israel, Jordania, Turki, Irak, dan Siprus, homoseksualitas antara 2 orang dewasa adalah LEGAL. Israel merupakan negara pertama di Asia yang mengeluarkan peraturan anti-diskriminasi untuk gay dan lesbian.

Isreal dapat dikatakan : IBUKOTA GAY DI TIMUR TENGAH hahaha

semoga kesetaraaan ini bisa menyebar ke negara timur tengah lainnya, dan juga indonesia

berikut berapa foto-foto para gay dan lesbian di Israel :










































Suku Dayak Pemburu Kepala Dari Kalimantan !

Smoked_heads_of_slain_enemies_Indonesian_Borneo
Shrunken smoked heads of slain enemies
Deep in the steamy jungle of Borneo, the bold English ethnologist hacked away with his machete to make headway through the dense vegetation. The short, sharp parang was designed to be drawn quickly, the better to strike for the neck. Yet while Charles Hose no doubt carried a blade during the many days and nights he spent living among the peoples of Borneo, this fanatical observer of the cultures of the huge Southeast Asian island was also armed with a subtler colonial weapon: the camera. Hose took many a well-aimed shot, and among his focus were Borneo’s headhunters. Still, he wasn’t the only snap-happy white chappie sporting britches and taking pictures; others, like the Dutch, were at it too.
Gallery inside a Kayan Dayak house with skulls and weapons lining the wall
gallery_inside_Kajan_Dayak_house_with_skulls_and_weapons_along_the_wall
Photo 1900-1930
In truth, Charles Hose was armed not just with a camera but with a pen. Stationed on Borneo as the Resident Magistrate during British Imperial rule there, this intrepid investigator recorded all he saw in his book, The Pagan Tribes of Borneo, published in 1912, and this included a discourse on headhunting:
“It is clear that the Ibans are the only tribe to which one can apply the epithet head-hunters with the usual connotation of the word, namely, that head-hunting is pursued as a form of sport,” write Hose, though he later states that these same people “are so passionately devoted to head-hunting that often they do not scruple to pursue it in an unsportsmanlike fashion.”
Ibu Dayak warrior headhunters from Longnawan, North Borneo
Ibu_Dayak_warrior_headhunters_from_Longnawan,_North_Borneo
Photo circa 1927
Before we get lost in confusion over what does and does not constitute sporting headhunting, let’s just be clear that the Iban are a branch of Borneo’s indigenous Dayak peoples. This sub-group of natives became known as Sea Dayaks to Westerners during the colonial era under the dynasty of James Brooke (1803-1868), the Rajah of Sarawak, which is one of Borneo’s Malaysian states.
The violent exploits of the Sea Dayaks in the South China Sea are well documented, due in no small part to their aggressive culture of war against emerging Western trade interests in the 19th and 20th centuries. James Brooke and his Malays gave as good as they got, however, attacking and wiping out 800 of the scurvy pirates. The Ibans also became notorious for headhunting, even if their being branded as pioneers of the practice was unfortunate, and perhaps off the mark.
Dayak man in possession of two heads on strings
Dayak_man_carrying_two_heads
Photo 1900-1940
Charles Hose himself thought it “probable” that the Ibans “adopted the practice [of headhunting] some few generations ago only… in imitation of Kayans or other tribes among whom it had been established,” and that “the rapid growth of the practice among the Ibans was no doubt largely due to the influence of the Malays, who had been taught by Arabs and others the arts of piracy.”
Modern sources less prone to imparting blame tie in the beginnings of this grisly activity among the Ibans with their territorial and tribal expansionism. As their own areas became overpopulated, they were forced to intrude on lands belonging to other tribes – trespassing which could only lead to death at a time when brutal confrontation was the only means of survival.
Armed Dayaks busy with the scull of a head-hunted enemy, Central-Borneo
Group_of_armed_Dayaks_busy_with_the_scull_of_a_head-hunted_enemy_in_Tubanganoi,_Central-Borneo.
Photo 1894
Headhunting was also undoubtedly an important part of Dayak culture more widely. A tradition of retaliation for old headhunts kept the ritual alive until it was curtailed and then gradually stamped out by outside interference – namely, the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo – in the 100 years leading up to World War II.
Early on, Brooke Government reports describe war parties of Iban and Kenyah people – another group of tribes to whom headhunting was culturally important – in possession of captured enemy heads. Yet later on, with the exception of massed raids, the practice of headhunting was limited to individual retaliation attacks or occurred as the result of chance encounters.
Shaven-headed Dayak bearing a spear with a parang hanging from his side
bald_headed_Dayak_with_spear
Photo circa 1920
Even so, by Charles Hose’s time headhunting was evidently still enough of an issue for the ethnologist to devote sections of his book to the subject. Hose even went so far as to explore possible explanations for the habits and beliefs that may have underlain and supported this macabre ferocity, offering two possible theories:
“That the practice of taking the heads of fallen enemies arose by extension of the custom of taking the hair for the ornamentation of the shield and sword-hilt,” and that: “The origin of head-taking is that it arose out of the custom of slaying slaves on the death of a chief, in order that they might accompany and serve him on his journey to the other world.”
Medicine men of the Dusun-Dayaks in West Borneo
Medicine_men_Dayaks_of_West_Borneo
Without wishing to cast too much doubt on Hose’s discerning colonial eye, contemporary scholars have offered slightly different views on what headhunting meant to the people who practiced it. Within the complex polytheist and animist beliefs of the Dayaks, beheading one’s enemy was seen as the way of killing off for good the spirit of the person who had been slain.
The spiritual significance of the ceremony also lay in the belief that it ushered in the end of mourning for the community’s dead. The heads were put on display at traditional burial rites, where the bones of relatives were exhumed from the earth and cleaned before being put in burial vaults. Ideas of manhood were also bound up with the practice, and the taken heads were surely prized.
Dayak chief in full traditional war dress
Dayak_chief_in_full_war_gear
Photo 1900-1940
Those who might sit snugly behind the idea that these barbaric practices lie far from Western civilised standards may want to think again. During WWII, Allied troops are known to have collected the skulls of dead Japanese as trophies. In 1944 Life published a photo of a young woman posing with a signed skull sent to her by her Navy boyfriend, an event that caused public outrage.
Under Allied direction, the Dayaks themselves retaliated against the Japanese with their brand of guerrilla warfare following ill treatment by the occupying forces. The gruesome tradition temporarily reared its head again as US airmen and Australian special operatives turned inland tribesmen into a thousand-man headhunting army which killed or captured some 1,500 Japanese soldiers.
War worker with Japanese skull sent by her Navy boyfriend
War_worker_with_Japanese_skull_sent_her_Navy_boyfriend